Monday, February 28, 2011

Sebuah Prosa


Dan disinilah diriku berdiri. Meneteskan air mata yang tak berguna. Menangisi sebuah kesalahan yang mendera sebuah kehidupan. Yang menjadikan kesedihan yang tampak begitu tolol bahkan untuk didengarkan oleh angin dan terlihat begitu angkuh untuk sebuah batu yang menari dan berlari dalam permainan kehidupan.

Dan disinilah diriku. Terduduk menangisi batu nisan
yang menuliskan namaku sendiri. Membiarkanku mati dan tertutupi kafan merah. Karena pada suatu hari, seseorang pernah melihatku meneteskan air merah dari mataku. Ya. Air darah yang membanjiri hatiku dan semua kesalahan yang begitu bodoh untuk diriku sendiri. Untuk diriku yang bahkan tak pernah benar-benar hidup dari sebuah kenyataan. Karena pada akhirnya hanya sebuah keterpurukan yang kubagikan dan kehampaan yang kugenggam. Bahkan aku tak mengerti tentang sebuah arti yang selalu para malaikat nyanyikan untukku.

Dan disinilah dirikuu berada. Bahkan tak dapat mengepakkan sayap yang telah terbuka lebar. Aku yang lupa bagaimana cara untuk terbang dan bermain bersama asa. Sedangkan seluruh temanku sedang bermain dengan awan. Dan aku bahkan tak bisa memandang mereka semua. Karena aku tak sanggup membelenggu diriku dalam sebuah kesalahan yang begitu konyol. Dan membuatku menangisinya. Padahal matahari pun tak akan mendengarkan. Tapi air mata itu masih saja menetes.

Dan disinilah diriku. Dengan air mata yang telah mengering namun selalu muncul begitu saja tanpa izin dariku. Lalu aku akan melakukan kesalahan yang lebih tolol, lebih bodoh dan lebih konyol. Terdiam menatap waktu. Membisu bersama senja. Tiada kata yang terucap bahkan ketika ia membunuhku. Tiada kata terbersit ketika belati beracun itu merobek jantungku. Bahkan aku tak dapat melawan ketika sebuah kehidupan memperolokku dan aku mati di dalam sebuah jiwa.



No comments:

Post a Comment